Selasa, 12 November 2013

Pistol

Sebenarnya, untuk apa pistol? Pistol diawali dengan bubuk mesiu ciptaan alkemis China. Bubuk untuk ‘mencapai keabadian’ ini kemudian dikembangkan Eropa dalam rupa senjata api. Banyaknya perang dan berkembangnya ilmu pengetahuan membuat teknologi senjata api terus berkembang. Keberhasilan senjata api dalam menaklukkan musuh terbukti lewat berbagai peperangan. Guna memperoleh fungsi praktis, terciptalah handgun; salah satunya pistol.

Pistol memfasilitasi rasa aman manusia. Seiring penyebarannya yang terjangkau ke semua kalangan (secara ilegal), penggunaan pistol secara eksesif tidak terhindarkan. Terjadilah penyimpangan aplikatif. Kini, pistol dan senjata api bukan lagi sekadar piranti untuk mengatasi kecemasan antisipatif atau menciptakan rasa aman terhadap kriminalitas. Penyebutan Pindad, AK-47, maupun Z-M Weapons LR-300 sebagai assault rifle (senapan penyerbu) menunjukkan bahwa senjata api mengalami pergeseran fungsi sebagai pembunuh. Ada rasa aman yang terkonversi menjadi sebuah agresi yang destruktif.

Syahdan, pistol bisa melindungi sekaligus melukai. Pistol bisa menjadi solusi yang mengandung agresi. Tengok saja Alexis di Pangkalan AL Amerika yang mengingatkan kita pada Columbine. Atau penembakan yang terjadi karena perdebatan pemikiran Immanuel Kant di Rusia. Lebih dekat lagi adalah penembakan terhadap polisi di Indonesia. Meskipun motif ketiganya belum dipastikan, namun dalam peristiwa tersebut ada intensi melukai.

Tentu saja peristiwa yang terjadi di Amerika dan Rusia berbeda dengan yang di Indonesia. Jika di Rusia dan Amerika adalah penembakan yang diarahkan ke seorang pribadi, Indonesia lain lagi. Penembakan polisi di Indonesia merupakan kekerasan fisik yang sifatnya simbolik. Ada perlawanan terhadap figur otoritas yang disimbolkan dalam kesatuan Polisi. Seakan-akan otoritas baru sedang diproklamirkan. Atau, barangkali penembak ini lupa bahwa kematian sebuah otoritas hanya melahirkan otoritas baru. Yang jelas, mereka melemparkan sebuah shock therapy. Tidak hanya kepada polisi dan otoritas, tetapi juga penduduk Indonesia. Mereka mencoba menguasai masyarakat lewat teror. Dengan demikian, pistol memiliki fungsi politik kekuasaan.

Lucunya, dengan pistol, mereka ingin membunuh sebuah sistem—sebuah otoritas. Tapi yang mati justru manusia.

Rabu, 25 September 2013

Aleph

“It’s mine, it’s mine;
I discovered it in my childhood,
before I ever attended school…”
—The Aleph, Jorge Luis Borges

Bagi Borges, Aleph adalah sebuah ruang mistis. Ruang yang tanpa batas. Ruang di mana ketika kita berdiri, kita berdiri pada sebuah pusat ruang tanpa batas. Aleph berada dalam sebuah ruang gelap. Untuk mencapainya, kita harus kembali ke bawah; ke masa lalu kita. Kita akan mencapainya dengan turun lewat tangga yang curam—sendiri. Di sebuah tempat di mana ketidaksadaran menjadi tempat berpijak. Aleph berada pada dunia yang tidak kita ketahui (unknown land), pada sebuah terra incognita. Di sebuah terra incognita itu kita akan melakukan perjalanan mengelilingi dunia. Dunia yang mensyaratkan kegelapan dan ketidaktahuan.

Demikian, Aleph adalah sebuah ruang tanpa percampuran dan kebingungan. Adalah sebuah dunia yang hanya dapat dilihat dengan cara pandang paralaks. Sebuah ruang tanpa sisi atau justru semuanya adalah sisi. Semuanya saling ada. Sebuah dunia yang tak dapat diasingkan dari kita. Sebuah kebenaran.

Dan kita tahu, kebenaran tidak akan didekati dengan pemahaman yang rigid. Kebenaran dicapai lewat sebuah tempat yang gelap. Yang sunya. Dari sebuah kekosongan. Dengan kosong, maka segala sumber cahaya akan saling ada (co-exist).

Aleph tidak bisa dipahami dengan akal saja. Dia membutuhkan sesuatu yang magis atau mungkin sesuatu yang eksistensial. Sebuah ruang berdiameter sekitar dua atau tiga centimeter ini berisi ruang universal. Sebuah ruang universal dalam keluasan dan keanekaragaman isi yang nyata.

Aleph adalah suatu rahasia—suatu misteri. Aleph adalah suatu dunia yang tak terbayangkan. Tapi, bagi Borges, apakah Aleph ada? “Pikiran kita bisa ditembus oleh ‘lupa’, kita menyimpangkan dan kehilangan lewat pengikisan tragis selama bertahun-tahun.”, tuturnya dengan kesia-siaan yang melankolis.

Malam Penipuan

Ini adalah malam penipuan.
Dia yang lemah
telah menunjukkan
dirinya kuat.

Tiga batang sigaret tersulut sudah.
Kali ini karamel,
bukan kopi.
Masih saja dengan latar cafe,
yang temaram—tentunya.

Fantasiku centang perenang,
Tentang gadis berkaus merah
yang kenes.
Tentang jaket kuning
yang ‘ngenes.

Namun, fantasi adalah ilusi.
Realisasi bukan lalu kongruensi.

Di malam itu
aku sangat ingat;
ada sebuah fantasi berkeliaran.
Fantasi-“nya”.
tatapannya adalah Rahwana
menelanjangi Sinta
Kata-“nya”,
“Cinta adalah rupa dan pesona!
Bodi tanpa budi.
Akhir pesona
adalah liang senggama.

Barangkali dia adalah frustrasi
yang terapung
dalam samudra fantasi.
Atau jangan-jangan
Don Juan post-modern?

Hahaha.
Aku pun dibuatnya tertawa.

2013

Ah Mungil, Ah Tua!

“Aduh, adik manis,
Kamu kok nakal sih!”
Kita dipisahkan,
sekaligus disatukan
oleh; “nakal”.

Dunianya adalah ketidaktahuan,
dunianya keingintahuan.

“Ah, mungil,
kamu memang nakal!”
Lihatlah matamu
bersinar memandang becek hujan.
Ah, mungil!

Kami saja,
yang sudah tua begini,
jijik dengan becek hujan.
Membosankan.
Ah, tua!

Ada yang hilang dari kami.
Ya, ada—memang.

2013

Bahagia

Untuk apa bahagia?
Padahal muasalnya kita menderita.
Untuk apa hidup bermakna?
Padahal kita hasrat yang sia-sia.
Untuk apa kita bertanya?
Padahal kita jawabnya.

Mengapa "untuk apa"?
Sedangkan tiada pangkal pada kita.
Mengapa hidup harus bahagia?
Bukankah hakikatnya adalah derita, he?


2013

Bagaimana Jika Mozart Hidup Hari Ini?

Nadanya adalah apatisme.
Intervalnya adalah anakronisme.
Iramanya adalah sadisme.

Simponinya seiring kebinasaan.
Orkesnya adalah gesut kematian.
Operanya adalah kekuasaan.

Jika Mozart hidup hari ini,
Ia tetap akan mengutuk masa.
Tanpa massa.

2013

Ikan

Ikan itu telah mematung.
Badannya menyembul dari air.
Sisiknya terlanjur mengering.

Mulutnya membuka,
menatap matari.
Siripnya lemah,
jatuh dalam gravitasi.
Matanya setengah terbuka,
melawan takdir yang meluka.

“Dasar goblok!”, seringai seorang setengah baya.
Ikan itu diam saja.
“Bukankah itu tempat hidupmu?”, tambahnya.
Ikan itu diam,
sembari menatap cakrawala.

“Tidak! Aku tidak bisa hidup di air.”,
suaranya lirih hampir mematung.
Ekornya basah di dalam air.
Di sengangar matari,
ia terus mematung; dalam provokasi.

2013