Sabtu, 01 Oktober 2011

Agama dan Kesetaraan

Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti pedoman, jalan, atau  tuntunan hidup. Tuntunan hidup di sini mengasumsikan bahwa selama hidupnya, manusia terus mencari suatu penyebab yang kemudian disebut orang sebagai Tuhan. Agama yang mempunyai misi untuk menjembatani (obyek transisional) justru menjadi bumerang bagi kehidupan umat manusia. Hasrat untuk menguasai seakan tak pelak lagi dibendung oleh kesetaraan. Inilah yang kemudian dikhawatirkan oleh para kaum minoritas. Agama sendiri mengandung kekuatan politis kultural yang sangat kuat. Implikasinya, tidak sedikit negara yang mengakulturasikan hukum agama dengan hukum kenegaraan. Menyadari kekuatan agama ini, lahirlah banyak kelompok radikal yang bertemakan agama. Ironisnya, manusia memaknai Tuhan bukan secara komunal, melainkan individual. Kaum eksistensialis menyatakan bahwa agama dan Tuhan merupakan suatu kebenaran eksistensial. Artinya kebenaran dari keduanya berpusat pada individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas. Makna Tuhan merupakan hasil dari rangkaian kehidupan si individu sendiri. Artinya, bagaimana orang menemukan Tuhannya masing-masing bersifat sangat personal.
Pada 10 Desember 1948 Sidang Umum PBB yang diselenggarakan di Istana Chaillot, mendeklarasikan pernyataan yang berisi poin-poin perlindungan hak asasi manusia. Salah satunya menyebutkan kemerdakaan dalam beragama dan berkeyakinan. Bukankah sangat ironis ketika masih terjadi kekerasan berlatarbelakang agama? Di Indonesia misalnya, ancaman terorisme terus menjalar di berbagai kota di Indonesia. Perjalanan kasus dan antisipasi terus dilakukan, baik oleh pihak pemerintah maupun masyarakat. Bertolak dari kesepakatan dalam 10 Desember 1948, apakah ini artinya masalah tersebut merupakan masalah internasional? Yang jelas, ini menjadi tanggung jawab dari setiap kita. Implikasinya, keresahan masyarakat terus meningkat. Kesejahteraan masyarakat dalam bidang pertahanan dan keamanan semakin terkoyak. Para oknum maupun organisasi ”hitam” ini masih berkeliaran entah di mana. Kapan saja mereka bisa menjadi seekor macan yang siap menikam kita, sebagai civil society. Tapi ada hal yang lebih penting di atas semua itu, yakni bagaimana menciptakan prinsip egaliter dalam masyarakat. Bukankah keadilan hanya ada dalam kesetaraan? Bukankah meskipun manusia terlahir dari rahim yang berbeda namun mempunyai hak-hak yang sama? Dan bukankah agama justru lahir dari rahim yang sama? Yakni rahim keterbatasan.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar