Selasa, 18 Oktober 2011

Mimpi Trisirah

And close your eyes with holy dread,
For he on honey-dew hath fed,
And drunk the milk of Paradise.

Oktober 1976 adalah bulan yang ganjil bagi sebagian orang yang menganut rasio dan logika. Pasalnya saat itu ada sebuah mimpi yang berakhir dengan revolusi, tanpa kerusuhan dan gas air mata apalagi senjata api.

Bukan partai, bukan kelompok massa, bukan pula mahasiswa. Hanyalah sekelompok orang tua dengan berbagai fantasinya.

Memang menimbulkan sebaris tanya mengenai revolusi yang lalu disebut “revolusi istana” ini. Gerakan ini dipimpin oleh Sawito Kartowibowo, seorang pegawai negeri sipil golongan III-C. Berbeda dengan revolusi dalam arti sebenarnya, revolusi ini kental dengan nuansa kebatinan. Pria berusia 44 tahun ini mengaku menerima wangsit dari alam gaib bahwa akan ada perombakan besar-besaran dalam dunia perpolitikan Indonesia. Dengan tangannya sendiri.

Sawito adalah salah satu penganut ilmu kebatinan ala Surakarta yang kental dengan pengamalan langsung ilmu ke kehidupan sosial. Adalah Trisirah, mertua dari Sawito, mengaku telah mendapat wangsit dalam mimpinya. Sasmita (tanda-tanda) dari dunia gaib itu mengatakan bahwa Sawito harus melakukan beberapa laku untuk membawa nusantara ke tataran yang lebih baik. Orang Jawa sendiri percaya akan adanya sasmita itu. Implikasinya, mimpi menjadi media informasi berisi simbol-simbol dan dimaknai sebagai pertanda mengenai masa depan. Dengan alasan setengah masuk akal tersebut Sawito mengunjungi tempat-tempat yang dianggap wingit.

 Suatu ketika pada tahun 1972, Sawito bersama beberapa orang lainnya melakukan ekspedisi ke Gunung Muria. Menurut kisahnya malam itu “ndaru” atau sinar dari langit jatuh. Sinar itu mengenai tanah, masuk ke dalamnya. Tanah pun digali. Mereka menemukan batu, di mana katanya membayang wajah Yesus Kristus. Dan di sisi lain wajah Sawito sendiri.

Kemudian Sawito dan rombongannya juga melakukan cucuk lampah ke alas Ketonggo Madiun. Alkisah, juru kunci makam di alas Ketonggo mendapatkan wangsit dalam mimpinya bahwa akan datang pemimpin besar. Agaknya juru kunci itu yakin, Sawito adalah Sang “Ratu Adil”. Adapun di antara rombongannya adalah Sudjono, seorang sarjana hukum didikan Belanda—yang tentu saja penganut rasio dan logika. Demikianlah kisah perjalanan layaknya seorang musafir itu terus berlangsung dari satu tempat mistis satu ke yang lainnya. Berbagai peristiwa gaib terjadi dan semakin meyakinkan orang-orang terdekat Sawito bahwa lelaki muda menjelang renta itu adalah seorang “Satriyo Piningit” titisan raja Majapahit.

Bagaikan khayalan belaka, sejumlah tokoh-tokoh penting perpolitikan dan agama turut serta dimintai bantuan afirmatif berupa penandatanganan surat pernyataan yang intinya mengatakan bahwa Sawito-lah Sang “Ratu Adil”. Bung Hatta, Hamka (Ketua MUI), Kardinal Yustinus Darmoyuwono (Ketua MAWI), T.B. Simatupang (Ketua PGI), R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo (mantan Kapolri pertama Indonesia) juga terseret Sawito dalam buaian wangsit dan fantasi Sang “Ratu Adil” ini.

Tapi, bagaimana mungkin para cendekiawan itu bisa dengan mudah menandatangani surat pernyataan tersebut? Saat itu ihwal yang garib ini benar-benar menimbulkan pertanyaan bagi sejumlah tokoh dan masyarakat Indonesia.

Sigmund Freud mengatakan bahwa mimpi adalah sebentuk wish-fulfillment. Artinya, mimpi menyamarkan simbol dari bentuk hasrat yang ditekan atau kecemasan. Jika pendekatan ilmiah tersebut sahih, Trisirah mengalami mimpi yang sedemikian rupa, artinya ada kemungkinan bahwa Sang “Ratu Adil” adalah bentuk utopis dari pemenuhan harapan. Diperkuat lagi bahwa pada saat itu juga ada aliran kebatinan yang timbul dengan latar belakang adanya perasaan kecewa, perasaan tidak puas dengan keadaan, cemas menyaksikan merajalelanya korupsi dan penyelewengan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintahan dan pemimpin-pemimpin rakyat, sakit hati melihat tindakan sewenang-wenang dari beberapa oknum penguasa yang tidak lagi menghiraukan rule of law, dan putus asa karena menganggap bahwa tidak ada tindakan tegas dari pemerintah untuk menindak orang-orang tersebut. Bisa jadi, yang dimimpikan oleh Trisirah adalah jelmaan sasmita dari good government dan masyarakat madani. Dan sosok ratu adil sendiri hanya berada dalam tataran ide yang jauh lebih sempurna dibandingkan realitas. Begitulah sosok dari mimpi itu sendiri : utopis.

Surat pernyataan yang sudah ditandatangani oleh beberapa tokoh penting nusantara itu kemudian dikirim ke istana. Gerakan Sawito pun diklaim sebagai bentuk tindakan subversif. Hal ini akhirnya memancing pemerintah untuk segera menilik serta membuat penghakiman terhadap gerakan irasional ini. Sawito dan kawan-kawannya ditangkap. Sekumpulan orang tua dengan alasan yang tidak diterima logika ini sekedar menorehkan nama dalam dunia politik nusantara. Ekspedisi “penyelamatan” nusantara ini akhirnya berakhir dibalik jeruji penjara.

Utopisme sosok Ratu Adil itu tentu saja tidak akan pernah berakhir. Layaknya puisi Kubla Khan karangan Samuel Taylor Coleridge yang tidak akan pernah selesai. Cerita indah dalam mimpi tidak akan henti-hentinya terus dicari kelanggengan dan kebenarannya. Begitupun dambaan utopis itu. Manusia memiliki ide-ide sempurna yang selalu akan dicari dan dibawa ke tataran realitas. Manusia selalu merindukan untuk meminum susu dari surga. Karena surga memang menjanjikan kebahagiaan kekal dan suaka bagi setiap manusia.

Suatu Tempat, 18 Oktober 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar