Minggu, 04 Desember 2011

Perempuan Taliban dengan Sebagian Takdirnya

Gulnaz, perempuan Taliban, dijatuhi hukuman 12 tahun penjara akibat perkosaan yang menimpa dirinya. Namun, setelah dua tahun dipenjara, belakangan ini Gulnaz diberi amnesti oleh Presiden Hamid Karzai. Gulnaz dibebaskan dengan syarat si pria pemerkosa dan Gulnaz menikah dan mengakui bahwa anak yang ada di kandungan Gulnaz adalah anak mereka berdua. Untuk menjaga martabat keluarga dan keamanannya, Gulnaz terpaksa harus menikah dengan si pemerkosa yang notabene adalah saudara sendiri (sampai tulisan ini dibuat, Gulnaz belum menyanggupi). Jika keduanya tidak disepakati, yang ditakutkan Karzai adalah pembalasan kaum konservatif di desa terhadap Gulnaz.
Taliban adalah suatu kelompok dengan latar belakang kesukuan dan agama yang dikenal sangat radix di Afganistan. Ada dua hal yang diperjuangkan kelompok ini; pertama adalah hasrat untuk menaklukkan Afganistan (bersifat Pashtun-centric) dan kedua adalah hasrat untuk membentuk kembali khalifah (diispirasi oleh Al-Qaeda). Taliban lahir pada tahun 1994 dan mengontrol Kabul pada tahun 1996 di bawah kepemimpinan Mullah Omar. Selama lima tahun mereka mengatur Afghanistan secara tirani dengan teokrasi intoleran, etnosentris, dan anarkisme brutal. Wanita diperlakukan semena-mena dalam sistem yang legal dengan mendiskualifikasi mereka dan memperkosanya, lalu mereka dipenjara. Kecuali ada empat kesaksian dari laki-laki yang membenarkan perempuan, maka perempuan akan bebas. Etnis dan Islam minoritas dibersihkan, dan perkembangan berhenti.
Taliban seringkali dilabeli sebagai musuh terbesar pemerintah Afghanistan dan Amerika. Ideologi yang dimiliki Taliban berpegang pada Pashtunwali (The Way of the Pashtun, Kode etik Pashtun) dan dunia luar melabeli Taliban sebagai Islam fundamentalis.
Nama Pashtun sendiri berasal dari Pashtunwali; yakni nilai-nilai kehormatan (nang) yang dianut oleh orang-orang Pashtun. Bagi orang Pashtun, nang sangat penting artinya. Akar dari nang adalah rasa malu atau lazim disebut sharam. Mereka yang menyinggung kehormatan (nang)  berarti sudah siap untuk kehilangan nyawanya. Ada beberapa nang yang dijunjung tinggi orang Pashtun, misalnya; melmastia (keramah-tamahan pada tamu), badal (keadilan), dan nanawatai (penyelesaian masalah dengan maaf). Seorang pria harus menjaga kehormatan suku dan agamanya. Bagi kaum lelaki Pashtun, ada tiga hal lain yang tidak bisa diganggu gugat hak miliknya; zan (wanita), zir (harta), dan zamin (tanah). Pelanggaran terhadap tiga z ini bisa berbalas nyawa.
Sebagaimana dikatakan di atas, Taliban adalah Islam fundamentalis. Fundamentalisme harus kita pahami secara kontekstual. Konteks yang dimaksud di sini adalah konteks sosial maupun konteks psikologis. Pada waktu dan tempat yang berbeda, alasan seorang atau sekelompok fundamentalis melabeli ‘yang lain’ sangatlah berbeda. Kemudian, ‘yang lain’ itu nantinya akan dianggap kaum fundamentalis sebagai ‘musuh’. Dalam Taliban, hasrat untuk menaklukkan Afganistan dan hasrat untuk membentuk kembali khalifah adalah dasar fundamentalisme.
Ada tiga core beliefs pada sistem keyakinan seorang fundamentalis. Pertama, keyakinan pada kekuatan supranatural Tuhan. Kedua, keyakinan akan ancaman sekulerisme. Ketiga, keyakinan pada isi kitab suci. Kaum fundamentalis yakin bahwa isi kitab suci dan hukum-hukum yang tertulis di dalamnya merupakan otoritas ultima pada keyakinan dan praktik mereka. Artinya, core beliefs ketiga menjadi latar belakang terjadinya ketimpangan gender dalam kaum Pashtun.
Kode etik Pashtun merupakan salah satu norma yang cukup ekstrim dibandingkan dengan norma-norma dalam mayarakat lain. Coba kita bayangkan ketika kode etik tersebut diimplementasikan di seluruh belahan dunia. Barangkali tingkat mortalitas akan meningkat dengan tajam. Tingkat mortalitas di Pashtun pun juga termasuk tinggi di dunia. Tingkat mortalitas di Pashtun mencapai 163/1000, dalam artian ada 163 bayi yang mati dari 1000 bayi yang lahir. Sangat mencolok dibandingkan dengan negara berkembang lain yang menunjukkan tingkat mortalitas 70/1000. Yang menjadi pertanyaan adalah, seberapa jauh kode etik atau norma adat suatu daerah berperan dalam hubungannya dengan dunia luar?
Adat merupakan sebuah bentuk ‘aturan’ atau konsensus yang telah ada sejak dahulu kala. Artinya, nilai-nilai adat diturunkan lintas generasi. Personal maupun communal construct dalam setiap orang tentu saja terpengaruh oleh lingkungannya, secara khusus adatnya. Norma adat membentuk kepribadian maupun kognisi seseorang yang kemudian ditampilkan dalam sikap dan perilaku yang sesuai dengan norma tersebut. Kita mempunyai kemampuan untuk mendisosiasi otak kita, karena itulah kemudian kita membuat klasifikasi in-group dan out-group. Barangkali klasifikasi yang dilakukan oleh kaum Pashtun berkaitan dengan gender terlalu kaku dan terpatok pada syariah yang sudah ‘biasa’ dijadikan pedoman tradisi. Kemudian, ‘yang lain’ berbeda dan dianggap musuh. Karena pikiran yang sudah teroganisir dan nilai-nilai yang tertanam kuat tersebut, kemudian yang disebut musuh haruslah ditaklukkan.
Berkaitan dengan norma setempat di Pashtun, yang menjadi keresahan masyarakat global adalah; sampai kapan norma yang menomorduakan kaum perempuan itu terus menjadi pegangan dan aturan yang kaku? Di kala belahan dunia yang lain mendambakan adanya kesetaraan antara eksistensi gender. Dunia telah membuktikan ketika Taliban naik dalam pemerintahan Afganistan. Banyak orang mengecam tindakan kaum Taliban yang terlalu ‘meresahkan’ keadilan sosial gender. Banyak kaum feminis maupun aktivis lain yang mengecam kode etik kaum Taliban yang terlalu kaku.
Penelitian lintas budaya sangat perlu untuk dilakukan dengan harapan dapat menjawab permasalahan di atas. Leung dan Morris (2001) memaparkan alasan-alasan kenapa penelitian lintas budaya dalam keadilan perlu untuk dilakukan. Pertama, penelitian lintas budaya dapat membabar teori keadilan yang lebih universal, yang mana tidak mungkin dilakukan dalam penelitian monokultural. Kedua, globalisasi dalam berbagai segi memicu peningkatan drastis terhadap kontak lintas budaya dan perbedaan kultural dalam konsepsi kejujuran dan norma keadilan bisa mengandung unsur salah paham dan kebencian yang tidak perlu selama terjadi kontak.
Teori-teori gender dalam buku ‘The handbook culture and psychology’ karangan Matsumoto, mungkin tidak akan berlaku dalam kelompok ini. Dalam Matsumoto (2001) disampaikan seakan-akan dari setiap manusia yang lahir mempunyai kebebasan dalam menentukan peran dan identitas gendernya. Namun, peran dan identitas gender dalam kelompok kaum Pashtun sudah ditentukan sebelum seseorang terlahir ke dunia. Seakan-akan seorang wanita harus siap dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada dirinya. Mereka dilahirkan dengan sebagian takdir yang sudah ditentukan. Mereka tidak bisa mengelak. Mereka dilahirkan dengan rahim adat yang kaku. Lagi-lagi mereka tidak bisa menghindar.
Kasus Gulnaz hanyalah sebagian kecil kasus yang terekspos media. Artinya masih banyak kasus-kasus serupa karena pelanggaran hukum (lebih tepatnya kode etik) kaum Pashtun. Sebelum kasus Gulnaz, kasus Bibi Aisha mencuat di media massa internasional. Bibi Aisha menikah pada usia 12 tahun. Pada usia 18 tahun, dia melarikan diri akibat pelecehan oleh keluarganya, namun kemudian tertangkap. Ketika Aisha tertangkap, suami Aisha memotong hidung dan telinga Aisha kemudian meninggalkan Aisha di pegunungan dengan harapan Aisha akan mati. Namun Aisha dapat menyelamatkan diri dan kisah tragisnya kemudian diangkat dalam Time Magazine July 2010, bahkan fotonya dijadikan cover depan majalah dan menjadi foto terbaik.
Stereotip yang terbentuk di masyarakat bahwa wanita umumnya dipandang sebagai figur yang pasif, memelihara lemah, dan adaptif, secara terang-terangan diaplikasikasikan dan implikasinya kaum wanita semakin ditindas di kalangan kaum Pashtun. Paham keadilan lokal yang tidak menjunjung tinggi hak-hak kaum perempuan perlu untuk dibawa ke konteks yang lebih luas agar lebih memanusiakan perempuan. Bukankah seluruh dunia telah membuat kesepakatan akan hal tersebut?
Bertolak dari kesepakatan dalam Declaration of Human Rights pada 10 Desember 1948, apakah artinya masalah tersebut merupakan masalah internasional? Yang jelas, ini menjadi tanggung jawab dari setiap kita. Implikasinya, kaum perempuan semakin merasa termarginalisasi dan teralienasikan. Kesejahteraan dalam seluruh bidang kehidupan semakin terampas. Tidak menutup kemungkinan akan terjadi pada Gulnaz dan Aisha lain di masa mendatang.
Tapi hal penting di atas semua itu adalah; bagaimana menciptakan kesetaraan gender? Bukankah keadilan hanya ada dalam kondisi yang setara? Bukankah meskipun manusia terlahir dengan gender yang berbeda namun tetap mempunyai hak-hak yang sama? Dan bukankah setiap dari kita justru lahir dari rahim kemanusiaan?

Kita pasti sadar, setiap dari kita menginjak bumi yang sama.



Sumber :
Herriot, Peter. (2009). Religious fundamentalism : global, local, and personal. New York : Routledge.
Matsumoto, David. (2001). The handbook culture and psychology. New York : Oxford University Press.
Matsumoto, David and Linda Juang. (2003). Culture and psychology. Beverly : Wadsworth Publishing Company.
Rashid, Ahmed. (2000). Taliban: Militant Islam, Oil and Fundamentalism in Central Asia. United States : Yale University Press.
Wibowo, Agustinus. (2010). Selimut debu. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
­­­­­­­­­­­­_____________. (2007). The taliban. Program for culture and conflicts studies.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar