Jumat, 20 Januari 2012

Bercermin dari India

For God’s sake, let us embrace like brothers!

Dalam perjuangan kemerdekaan India, Nehru melantangkan seruan di atas ketika berpidato menentang kekerasan dalam konflik antara kaum Hindu dengan kaum Muslim. India, sebuah negeri yang disebut Max Muller sebagai  tempat di mana manusia telah memikirkan masalah-masalah tersebar dalam kehidupan ini secara sangat mendalam serta menemukan jawaban yang pantas atas masalah tersebut. Negeri dengan penduduk nomor dua di dunia tersebut menyimpan diversitas kultural yang begitu kaya akan nilai.
Tidak lepas dari peristiwa tersebut di atas, adalah seorang pria asketis dengan tubuh kurus yang membuat pakaiannya sendiri dengan alat pemintalnya yaitu Mohandas Karamchand Gandhi. Gandhi disebut-sebut sebagai pembawa perubahan dan corong hati nurani manusia. Berbagai percobaan mengenai kebenaran dan ahimsa telah membuka mata banyak orang ketika itu, termasuk bangsa Inggris yang ketika itu menduduki bumi India. Tak pelak lagi, cita-cita seorang Gandhi dihidupi oleh banyak pengikutnya. Bahkan mungkin sampai saat ini.
Dalam buku tulisannya, All Men Are Brothers, Gandhi berpendapat bahwa “Di rumah Tuhan terdapat banyak bagian rumah dan semuanya sama kudusnya”. Yang dimaksud Gandhi dengan bagian rumah adalah agama. Bahkan mungkin bagian rumah itu sama banyaknya dengan jumlah seluruh manusia di jagad raya. Betapa sederhananya kata-kata yang diungkapkan Gandhi, namun begitu luarbiasanya apa yang telah dihidupinya. Tidak perlu dengan membuat karya sastra atau penemuan yang besar di dunia, cukup dengan hidup berpegang pada pencarian terhadap kebenaran (=Tuhan).
Beberapa hari ini telinga, mata, dan hati kita dihiasi ironi dalam negeri sendiri, yakni berkaitan dengan konflik berlatarbelakang agama. Satu di GKI Yasmin kota Bogor, dan satu lagi di Yogyakarta; yang terkenal sebagai kota dengan tingkat toleransi beragama cukup tinggi di Indonesia. Betapa mirisnya peristiwa ini sehingga banyak pengecaman terjadi, termasuk lewat jejaring sosial. Apakah ini wajah agama di Indonesia? Bukannya saling hidup dalam cinta, namun justru membuat yang lain tiada. Yang kemudian muncul dalam benak kita adalah “Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Apa penyebabnya?”, kemudian disusul dengan pertanyaan “Bagaimana cara mengatasinya?”. Masih samar-samar apakah benar ini manifestasi fundamentalisme atau neo-fundamentalisme. Fundamentalisme adalah suatu paham yang mempertahankan sesuatu secara konservatif dan radikal, dalam hal ini agama. Sedangkan neo-fundamentalisme sendiri merupakan metamorforsis fundamentalisme yang kemudian masuk ke dalam dunia politik.
Jauh dari hal tersebut, agama sendiri merupakan pembiasan dari kebutuhan manusia untuk mengatasi rasa tidak berdaya mereka, khususnya rasa takut. Baik takut akan kematian maupun takut akan musuh, kemiskinan, dan ancaman eksternal lainnya. Dibalik rasa takut yang bersifat resiprokal ini, timbullah hasrat untuk bersahabat. Artinya kita membutuhkan cinta untuk menjalani relasi persahabatan tersebut. Dan hasrat cinta sendiri sifatnya tidak akan pernah terpuaskan. Tidak ada orang yang tidak membutuhkan cinta, meskipun dia orang paling bahagia di jagad raya. Tentu saja kedengaran menggelikan di telinga kita antara agama, takut, dan cinta, dengan kekerasan di dunia yang bersama-sama kita injak saat ini. Yang mungkin akan sulit kita pahami adalah hubungan antara cinta dan kekerasan. Adakah agama yang mengajarkan kekerasan adalah sebuah benih unggul dari cinta? Rasanya tidak ada agama yang mengajarkan hal tersebut. Sedangkan meniadakan yang lain, apakah itu sebuah cinta? Kesimpulan sementaranya adalah bahwa pemahaman para pelaku mengenai agama justru sangat dangkal. Mereka memahami agama dengan sangat praktis, akibatnya kesalehan yang salah terjadi dalam implementasi kehidupan sosial. Yang terjadi pada akhirnya adalah dehumanisasi manusia.
Dan nyatanya, dalam realita yang begitu kompleks ini, kita membutuhkan semangat Gandhi yang mempertemukan kita dengan perdamaian, yakni ahimsa dan kebenaran. For God’s sake, let us make peace!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar