Rabu, 25 September 2013

Aleph

“It’s mine, it’s mine;
I discovered it in my childhood,
before I ever attended school…”
—The Aleph, Jorge Luis Borges

Bagi Borges, Aleph adalah sebuah ruang mistis. Ruang yang tanpa batas. Ruang di mana ketika kita berdiri, kita berdiri pada sebuah pusat ruang tanpa batas. Aleph berada dalam sebuah ruang gelap. Untuk mencapainya, kita harus kembali ke bawah; ke masa lalu kita. Kita akan mencapainya dengan turun lewat tangga yang curam—sendiri. Di sebuah tempat di mana ketidaksadaran menjadi tempat berpijak. Aleph berada pada dunia yang tidak kita ketahui (unknown land), pada sebuah terra incognita. Di sebuah terra incognita itu kita akan melakukan perjalanan mengelilingi dunia. Dunia yang mensyaratkan kegelapan dan ketidaktahuan.

Demikian, Aleph adalah sebuah ruang tanpa percampuran dan kebingungan. Adalah sebuah dunia yang hanya dapat dilihat dengan cara pandang paralaks. Sebuah ruang tanpa sisi atau justru semuanya adalah sisi. Semuanya saling ada. Sebuah dunia yang tak dapat diasingkan dari kita. Sebuah kebenaran.

Dan kita tahu, kebenaran tidak akan didekati dengan pemahaman yang rigid. Kebenaran dicapai lewat sebuah tempat yang gelap. Yang sunya. Dari sebuah kekosongan. Dengan kosong, maka segala sumber cahaya akan saling ada (co-exist).

Aleph tidak bisa dipahami dengan akal saja. Dia membutuhkan sesuatu yang magis atau mungkin sesuatu yang eksistensial. Sebuah ruang berdiameter sekitar dua atau tiga centimeter ini berisi ruang universal. Sebuah ruang universal dalam keluasan dan keanekaragaman isi yang nyata.

Aleph adalah suatu rahasia—suatu misteri. Aleph adalah suatu dunia yang tak terbayangkan. Tapi, bagi Borges, apakah Aleph ada? “Pikiran kita bisa ditembus oleh ‘lupa’, kita menyimpangkan dan kehilangan lewat pengikisan tragis selama bertahun-tahun.”, tuturnya dengan kesia-siaan yang melankolis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar