“It’s mine, it’s mine;
I discovered it in my
childhood,
before I ever attended
school…”
—The Aleph, Jorge Luis
Borges
Bagi Borges, Aleph adalah sebuah ruang mistis. Ruang yang tanpa
batas. Ruang di mana ketika kita berdiri, kita berdiri pada sebuah pusat ruang
tanpa batas. Aleph berada dalam sebuah ruang gelap. Untuk mencapainya, kita
harus kembali ke bawah; ke masa lalu kita. Kita akan mencapainya dengan turun
lewat tangga yang curam—sendiri. Di sebuah tempat di mana ketidaksadaran
menjadi tempat berpijak. Aleph berada pada dunia yang tidak kita ketahui (unknown
land), pada sebuah terra incognita. Di sebuah terra incognita
itu kita akan melakukan perjalanan mengelilingi dunia. Dunia yang mensyaratkan
kegelapan dan ketidaktahuan.
Demikian, Aleph adalah sebuah ruang tanpa percampuran dan
kebingungan. Adalah sebuah dunia yang hanya dapat dilihat dengan cara pandang
paralaks. Sebuah ruang tanpa sisi atau justru semuanya adalah sisi. Semuanya
saling ada. Sebuah dunia yang tak dapat diasingkan dari kita. Sebuah kebenaran.
Dan kita tahu, kebenaran tidak akan didekati dengan pemahaman yang
rigid. Kebenaran dicapai lewat sebuah tempat yang gelap. Yang sunya. Dari
sebuah kekosongan. Dengan kosong, maka segala sumber cahaya akan saling ada (co-exist).
Aleph tidak bisa dipahami dengan akal saja. Dia
membutuhkan sesuatu yang magis atau mungkin sesuatu yang eksistensial. Sebuah
ruang berdiameter sekitar dua atau tiga centimeter ini berisi ruang universal. Sebuah
ruang universal dalam keluasan dan keanekaragaman isi yang nyata.
Aleph adalah suatu rahasia—suatu misteri. Aleph
adalah suatu dunia yang tak terbayangkan. Tapi, bagi Borges, apakah Aleph ada? “Pikiran
kita bisa ditembus oleh ‘lupa’, kita menyimpangkan dan kehilangan lewat
pengikisan tragis selama bertahun-tahun.”, tuturnya dengan kesia-siaan yang
melankolis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar