Rabu, 07 Desember 2011

Bruner : Paradigmatik dan Naratif

Bruner (1986) mengemukakan mode penggunaan pikiran: (1) mode paradigmatik; dan (2) mode naratif. Keduanya digunakan secara simultan oleh orang. Dalam mode paradigmatik, berpikir adalah menyusun secara terstruktur proposisi-proposisi sehingga terhubung secara logis. Pikiran dalam mode paradigmatik merupakan struktur informasi yang koheren, memiliki premis-premis umum sebagai prinsip dasar yang dapat digeneralisasi kepada premis-premis khusus. Dalam mode ini, pikiran melampaui partikularitas untuk memperoleh kognisi sistematis dan kategorikal. Deduksi, induksi, atau silogisme merupakan contoh bentuk pikiran dengan mode paradigmatik. Di sisi lain, mode naratif merupakan pemahaman didasarkan pada urutan waktu (sequential), berorientasi kepada tindakan dan pikiran yang mengarah kepada pengenalan terhadap detail. Dengan mode naratif, pikiran mengambil bentuk cerita dan drama yang menggugah. Secara khusus, ia memusatkan pemikirannya kepada ide bahwa naratif merupakan salah satu dari produk kultural.

Mode paradigmatik atau logika-ilmiah merupakan sebuah upaya untuk memenuhi sesuatu yang bersifat ideal formal. Dengan kategorisasi atau konseptualisasi serta operasinya, kategori dibentuk, diumpamakan, diidealkan, dan terkait satu dengan yang lain dalam rangka membentuk suatu sistem. Cara tersebut menghubungkan sisi formal seperti ide-ide konjugsi dan disjungsi, implikasi yang ketat, dan perangkat di mana proposisi umum yang diambil dari pernyataan dalam konteks tertentu. Pada tingkat dasar, modus paradigmatik menguraikan sebab umum dan membuat penggunaan prosedur untuk menjamin acuan yang dapat diverifikasi dan diuji kebenaran empirisnya. Bahasanya diatur dengan syarat konsistensi dan tidak kontradiktif. Ranahnya tidak terbatas pada yang bisa diamati yang berhubungan pernyataan dasar, tetapi juga oleh kumpulan kemungkinan dunia yang dapat secara logis dihasilkan dan diuji terhadap pengamatan dan didorong oleh hipotesis berdasarkan suatu prinsip tertentu.

Aplikasi imajinatif pada modus paradigmatik mengarah pada teori yang baik dengan analisis yang kuat, bukti logis, argumen, dan penemuan empiris yang dipandu dengan hipotesis beralasan. Tapi "imajinasi" (atau intuisi) paradigmatik tidak sama dengan imajinasi seorang novelis atau penyair. Sebaliknya, mode paradigmatik merupakan kemampuan untuk melihat kemungkinan hubungan formal sebelum seseorang mampu membuktikan hubungan tersebut.

Aplikasi imajinatif mode narastif mengarah pada cerita-cerita bagus, drama yang menggugah, catatan sejarah yang terpercaya (meskipun tidak selalu "benar"). Hal ini berkaitan dengan minat dan tindakan manusia serta perubahan dan konsekuensi yang menandai rangkaiannya. Mode naratif berusaha untuk menempatkan mukjizat abadi ke dalam ihwal pengalaman serta mencari pengalaman pada waktu dan tempat tertentu. Sebaliknya, mode paradigmatik berusaha untuk melampaui hal tertentu dengan meraih abstraksi, dan pada akhirnya menolak prinsip nilai secara jelas. Paul Ricoeur berpendapat bahwa narasi dibangun sebagai reaksi keprihatinan terhadap kondisi manusia: kisah sedih atau hal-hal yang dipikir orang mustahil, sementara argumen teoritis dengan mudah meyakinkan atau justru tidak meyakinkan orang. Berbeda dengan ilmu pengetahuan dan penalaran logis, dengan narasi kita dapat mengetahui bagaimana membuat cerita yang baik. Mungkin dengan alasan tersebut, sebuah cerita haruslah dibangun dengan kedua unsur secara simultan.

Pengetahuan naratif adalah premis pada cerita natural dalam pengetahuan manusia. Perubahan dalam dasar pengetahuan naratif dicerminkan oleh penegtahuan yang berkelanjutan dalam perspektif filsafat imu yang fokus pada variasi derajat sosial, interpretif, dan praktik pragmatis yang melekat secra kultural. Motif kultural dikonstruksikan melalui interaksi sosial yang dipahami lalu dterjemahkan dalam naratif motivasi pribadi. Melihat perilaku manusia dan perkembangan identitas dalam hidupnya, psikologi naratif digunakan dalam pengembangan kerangka konseptual untuk mengetahui psikologi identitas moral, kreativitas eksistensial, dan komitmen (Hoshmand, 1998).

Dalam mode berpikir naratif terdapat sepuluh ciri. Yang pertama adalah narrative diachronicity, artinya naratif adalah kejadian yang pernah terjadi dalam waktu tertentu. Kedua adalah particularity, artinya naratif dapat mengambil suatu kejadian seolah-olah menjadi acuan khusus yang terjadi. Ketiga adalah intentional state entailment, ciri ini menjelaskan bahwa naratif berkaitan tentang perilaku orang pada sebuah setting dan kejadian yang menimpa orang harus relevan dengan intensinya yang menarik hati orang tersebut (keyakinan, hasrat, maupun teori). Ciri selanjutnya adalah hermeneutic composability, yakni menyatakan bahwa sebuah kata awal mula dari penjelasan dibutuhkan dalam naratif. Kata hermeneutic di sini berkaitan dengan teks yang digunakan seseorang untuk mengekpresikan maksud tertentu. Kemudian ciri selanjutnya adalah canonicity and breach, yang menyatakan bahwa naratif didasarkan pada aturan dan konsekuensi dalam pelanggaran peraturan tersebut. Hal ini kadang-kadang disebut sebagai precipitating event (Bruner, 1991).

Dalam naratif juga terdapat unsur referentiality. Referentiality berarti sebuah naratif tergantung pada realitas, jika tidak maka tidak akan ada fiksi. Selain itu dalam naratif terdapat unsur normativeness. Hal tersebut merujuk pada sifat tellability sebagai bentuk percakapan pada umumnya, oleh karena itu naratif dibutuhkan secara normatif. Ciri selanjutnya adalah context sensitivity and negotiability yang berarti naratif memiliki unsur ketergantungan pada konteks yang memungkinkan adanya negosiasi kultural yang membuat kesesuaian dan kesalingtergantungan. Terakhir adalah ciri narrative accrual. Ciri ini menunjukkan bahwa naratif dipercaya tumbuh dari prinsip-prinsip umum yang kemudian  menyusun suatu budaya, sejarah, atau tradisi (Bruner, 1991).


Sumber:
Bruner, J.S. (1986). Actual minds, possible worlds. Cambridge, Mass.: Harvard University Press.
Bruner, J.S. (1991). The Narrative Construction of Reality. Critical Inquiry, (18), 1-21.
Hoshmand. L. T. ( 1998). Creativity and moral vision in psychology: Narratives of identity and commitment in a postmodern age. Thousand Oaks. CA: Sage.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar