Rabu, 07 Desember 2011

Fundamentalisme Keagamaan


Fundamentalisme adalah ideologi yang mempertahankan sesuatu secara konservatif dan radikal. Ideologi ini menjadi akar radikalisme, revivalisme, dan neo-fundamentalisme. Ideologi ini berpegang teguh pada hukum atau kitab agama secara literal. Para penganut fundamentalisme, yang disebut fundamentalis, memiliki keyakinan yang didasarkan pada ketuhanan dan teks yang ada, yang dianggap sempurna dan tidak bisa ditanyakan. Keyakinan konservatif tersebut berimplikasi pada implementasi kehidupan sosialnya. Kaum ini biasanya menolak sistem keyakinan dari agama lain, intoleran, maupun totaliter (Fundamentalism, St. Luke's News and Reviews Sunday School, 2000).

Fundamentalisme harus kita pahami secara kontekstual. Konteks yang dimaksud di sini adalah konteks sosial maupun konteks psikologis. Pada waktu dan tempat yang berbeda, alasan seorang atau sekelompok fundamentalis melabeli ‘yang lain’ sangatlah berbeda. Kemudian, ‘yang lain’ itu nantinya akan dianggap kaum fundamentalis sebagai ‘musuh’. Istilah ‘musuh’ bisa didefinisikan sebagai hal yang satanis, murtad agama, profan, pergerakan feminis, atau humanisme sekuler. Oleh karena itu, ketika kita menyebut seseorang atau sekelompok orang adalah kaum fundamentalis, kita harus mencari latar belakang fundamentalisme yang terjadi sesuai konteks sosial dan psikologis yang ada (Herriot, 2009).

Ada lima karakteristik fundamentalisme. Pertama, fundamentalis itu reaktif. Para fundamentalis meyakini bahwa eksistensi agama mereka terancam oleh sekulerisme dunia modern.Rasa terancam yang muncul memicukaum fundamentalis untuk meperjuangkan kembali nilai-nilai agama mereka. Penolakan akan dunia yang sekuler diwujudkan dalam hal yang berbeda, namun pada dasarnya mereka adalah oposisi (Herriot, 2009).

Keempat ciri khas lainnya mendukung perjuangan yang terjadi pada ciri pertama. Pertama, seorang fundamentalis adalah seorang yang dualis. Artinya, mereka kemudian memahami bahwa di dunia ini terdapat dikotomi, misalnya; Tuhan dan iblis, baik dan jahat, kebenaran dan kepalsuan. Paham yang dualistis ini membenarkan kaum fundamentalis untuk mengembangkan out-group dan in-group. Kedua, fundamentalis percaya bahwa kitab suci merekamemiliki kekuasaan tertinggi atas apa yang harus dipercaya dan bagaimana harus bertindak. Kitab suci dianggap kuatsebagai kehendak Allah bagi umat manusia. Ketiga, penafsiran kitab suci terjadi secara selektif. Kaum fundamentalis memilih ide spesifik dari kitab suci lalu menekankan pedoman pada ide spesifik tersebut. Adaptasi selektif dari kitab suci kemudian digunakan untuk strategi dan taktik perjuangan. Ciri khas keempat berkaitan dengan harapan bahwa suatu saat, dengan otoritasNya, Tuhan akan mendirikan kerajaanNya beberapa waktu mendatang. Kaum fundamentalis percaya bahwa mereka dapat mempercepat kedatangan saat mulia tersebut dengan memerangi, secara harafiah maupun spiritual, atas nama Allah (Herriot, 2009).

Sebenarnya, fundamentalisme sendiri adalah sebuah fenomena yang terjadi pada abad ke-20. Oleh karena itu, fundamentalisme adalah fenomena modern dan reaksi yang terjadi adalah perlawanan terhadap modernitas. Modernitas yang dimaksud adalah pergolakan dalam bidang sosial, politik, maupun agama. Oleh karena itu, paham ini ingin tetap menjadikan diri sebagai agama dengan nilai-nilai tradisional yang telah hidup sepanjang sejarah. Komunitas tertentu, seperti kaum Jesuit dalam Gereja Katolik Roma dan sekte Islam keras (seperti Wahhabi di Arab Saudi), adalah contoh historis dari fundamentalisme (Herriot, 2009).

Ada tiga core beliefs pada sistem keyakinan seorang fundamentalis. Pertama, keyakinan pada kekuatan supranatural Tuhan. Hal ini menciptakan skema bahwa hubungan antara dunia supranatural dengan dunia natural, sosial, maupun personal bersifat konstan dan sarat akan intimitas. Kedua, keyakinan akan ancaman sekulerisme. Core beliefs kedua ini menjadi pembeda utama antara pergerakan kaum fundamentalis religius dengan kaum non-fundamentalis. Ketiga, keyakinan pada isi kitab suci. Kaum fundamentalis yakin bahwa isi kitab suci dan hukum-hukum yang tertulis di dalamnya merupakan otoritas ultima pada keyakinan dan praktik mereka (Herriot, 2009).

Ketiga core beliefs tersebut memainkan peranan penting dalam dalam proses pembentukan bahasa religius. Bahasa religius sendiri mampu menggerakan kaum fundamentalis untuk melakukan pergerakan. Bahasa religius kemudian mempengaruhi sistem teologis seseorang. Hal tersebut diperkuat lagi dengan mediator seperti pendeta, pastur, ustad, dan lain-lain. Sistem-sistem tersebut lalu membentuk suatu perspektif kaum fundamentalis terhadap dunia (world’s view). Dalam hal ini, doktrin fundamentalis yang diinternalisir dalam sistem keyakinan seseorang bersifat rasional dan koheren (Herriot, 2009).

World’s view adalah sebuah skema mental dan meyediakan makna yang diyakini. World’s view juga merupakan alat retorika persuasif untuk mengerahkan dan mengkonfrontasikan seorang fundamentalis dengan out-group. Ketika out-group secara esensial berbeda dengan perspektif mereka, kemudian terjadilah konflik dualistis yang dapat diperangi; perpektif Tuhan melawan perspektif dunia. Hal tersebut menegaskan kembali sisi dualisme yang membangun dan melegitimasi perbedaan antara in-group dengan out-group, antara ‘kami’ dengan ‘mereka’ (Herriot, 2009).

Seorang fundamentalis juga cenderung untuk berpikir praktis. Semua pandangan yang dimiliki cenderung didasarkan pada kitab suci secara literal. Hal ini menyebabkan proses kognitif yang terjadi menjadi lebih sederhana dan tidak sekompleks proses kognitif pada non-fundamentalis. Dalam mengambil keputusan, proses kognitif terjadi secara otomatis berdasarkan skema mental yang sudah terbentuk. Oleh karena itu, cara pandang seorang fundamentalis tidak dapat dinegoisasi. Ini adalah konsekuensi dari ssitem keyakinan yang telah diinternalisasikan. Sebagai contoh, beberapa kaum fundamentalis secara tegas menolak eksistensi gay dan kaum feminis. Mereka menganggap kaum gay dan kaum feminis telah menyangkal kekuasaan Tuhan, karena itu mereka patut ditentang (Herriot, 2009).



Sumber:
Herriot, Peter. (2009). Religious fundamentalism : global, local, and personal. New York : Routledge.
_____________ . (2000) Fundamentalism. St. Luke's News and Reviews Sunday School, 29 October.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar