Sabtu, 10 Desember 2011

Cinta Produktif dan Masyarakat

Fromm dan Cinta Produktif
Erich Fromm lahir pada tanggal 23 Maret 1900, di Frankfurt, Jerman. Dia adalah anak tunggal dari orang tua, yang digambarkan sangat neurotik oleh Fromm. Pengaruh Yahudi terhadap Fromm sangat kuat, namun ia menolak agama yang terorganisasi pada usia 26 dengan alasan bahwa Fromm tidak ingin berpartisipasi dalam agama maupun politik. Beliau merupakan seorang tokoh psikoanalisis sosial yang sangat berpengaruh. Teori Fromm menekankan pengaruh masyarakat pada pembentukan dan pengembangan kepribadian. Karyanya sangat mencerminkan teori-teori Karl Marx, yang ia anggap sebagai seorang pemikir bahkan lebih besar daripada Freud. Oleh karena itu Fromm sering dilabeli sebagai teoritikus kepribadian Marxian
Menurut Fromm, manusia memiliki lima kebutuhan spesifik yang berasal dari kondisi eksistensi manusia. Lima kebutuhan itu adalah kebutuhan akan keterhubungan, kebutuhan akan transendensi, kebutuhan akan keterberakaran, kebutuhan akan identitas, dan kebutuhan akan kerangka orientasi. Dan salah satu yang menonjol dalam psikoanalisis sosial Fromm adalah kebutuhan akan keterhubungan.
Pada dasarnya manusia memiliki kebutuhan akan keterhubungan dikarenakan adanya perasaan yang menyakitkan dan unik, yang terisolir dalam diri manusia, dan karena kita menyedihkan dan lemah dibandingkan dengan kekuatan alam, kita harus bekerja sama untuk bertahan hidup. Cara terbaik untuk bertahan hidup tersebut adalah dengan cinta. Seni mencintai melibatkan diri untuk merawat orang lain, mengetahui perasaan dan keinginan mereka yang sebenarnya, menghormati hak mereka untuk mengembangkan sesuatu dengan cara mereka sendiri, dan memiliki rasa tanggung jawab terhadap kemanusiaan: “Cinta bukan saja hubungan dengan orang tertentu. Itu adalah ... karakter yang berorientasi dengan menentukan keterkaitan seseorang dengan dunia secara keseluruhan ... Jika saya benar-benar mencintai satu orang, maka yang aku cintai semua orang, aku mencintai dunia, saya mencintai kehidupan.”.
Setiap manusia memiliki kapasitas untuk mencintai, namun untuk memenuhi potensi ini jauh dari mudah. Padahal, yang memberikan kepuasan bagi manusia adalah hubungan-hubungan yang didasarkan pada cinta produktif. Cinta produktif memuat aspek berupa perhatian, tanggung jawab, respek, dan pemahaman timbal balik. Nampaknya Fromm kurang realistis terhadap hal ini, sehingga eksistensi dari hubungan cinta produktif itu sendiri terlalu idealis.

India dan Kasta
India adalah tanah air dari berbagai suku bangsa, kebudayaan, dan agama. Mayoritas penduduk India menganut Hinduisme. Hinduisme sendiri sebagai suatu keimanan adalah samar-samar, tidak berbentuk, banyak sekali sisinya, semua barang untuk semua orang. Sangat sukar untuk mendefinisikan atau menyatakan secara pasti apakah itu agama atau bukan dalam rasa bahasa yang biasa. Dalam bentuk yang sekarang ini, dan bahkan di waktu yang lampau Hinduisme merangkum banyak kepercayaan dan adat istiadat dari tingkat tertinggi sampai ke tingkat terendah seringkali berlawanan atau bertentangan satu dengan lainnya. Mayoritas penduduk di India menganut Hinduisme (=agama Hindu), yakni sebanyak  80.46%. Seperti Taoisme di China, Hinduisme sendiri telah mempengaruhi struktur dan konstruksi budaya maupun individu di India. Salah satunya adalah adanya sistem kasta.
Sebenarnya kurang tepat kalau kita memberi istilah kasta (Portuguese; caste = ras), lebih tepat disebut dengan warna; penggolongan tingkatan berdasarkan profesi. Namun kata caste ini kemudia mengalami perubahan etimologis dan akhirnya disandingkan strata sosial masyarakat yang cenderung bersifat hierarkis. Kasta ini tidak semata-mata ditentukan sejak seseorang lahir, melainkan bisa ditentukan setelah nanti orang itu memilih jalan hidupnya. Misalnya seorang Sudra atau Waisya yang menekuni bidang kerohanian, maka bisa jadi orang itu akan menjadi seorang berkasta Brahmana. Namun, hal ini memang jarang terjadi. Sistem kasta mempunyai pra anggapan mendasar bahwa ada ketidaksama-an di antara manusia, sebab kelahirannya yang berbeda dan haruslah sepanjang hidupnya dalam status agama dan masyarakat yang lebih tinggi atau lebih rendah.

Cinta Produktif dan Kasta
Yang patut menjadi pertanyaan kita bersama adalah; apakah mungkin sistem kasta mampu ditembus dan cinta produktif yang dimaksud Fromm bisa merambah ke seluruh lapisan masyarakat? Sebagaimana telah disampaikan di atas, cinta produktif mengandung empat aspek utama yakni perhatian, tanggung jawab, respek, dan pemahaman timbal balik.
Dalam artikel “Anak India dibunuh karena nama sama”, yang diekspos dalam media massa digital BBC pada tanggal 2 Desember 2011, disampaikan bahwa seorang anak berusia 14 tahun bernama Neeraj Kumar di Uttar Pradesh dibunuh oleh seseorang dengan latar belakang kasta yang lebih tinggi. Motifnya pun sangat erat dengan kasta, yakni nama Neeraj Kumar sama dengan nama anaknya. Ada dua hal pokok di sini; nama sama dan kasta berbeda. Meskipun di India diskriminasi kasta sudah digolongkan dalam sikap yang ilegal, namun ternyata nilai-nilai lokal tradisional tidak begitu saja hilang dengan adanya punishment terhadap diskriminasi. Bahkan mungkin jika kita benar-benar hidup dalam lingkungan sosial di India (dalam hal ini Uttar Pradesh), eksistensi kasta masih berpengaruh dalam kehidupan sosial psikologis seseorang.
Lewat ajarannya ahimsa, Mahatma Gandhi mengajarkan kita untuk tidak membunuh atau bahkan berbuat kekerasan. Terbukti prinsip dan nilai ini mampu mengusir Inggris dari tanah India. Dalam artikel ini, justru disampaikan bahwa terjadi pembunuhan di berlatarbelakang kasta. Sedangkan ‘membunuh’ sendiri adalah hal yang benar-benar kontradiktif dengan cinta produktif yang disampaikan oleh Fromm. Bahkan membunuh tidak memiliki keempat unsur cinta produktif, khususnya respek dan pemahaman timbal balik. Apakah artinya tidak mungkin terbentuk cinta produktif di dalam masyarakat?
Saya rasa yang disampaikan oleh Fromm memang benar-benar mulia dan cukup banyak dicita-citakan oleh kebanyakan orang. Sayangnya, ketika dibenturkan budaya, nilai realistis dari cinta produktif menjadi semakin menurun drastis. Bahkan cuma menjadi sekedar idealistis. Dan ironisnya, manusia memang membutuhkan hubungan-hubungan berkualitas yang memang sarat dengan unsur cinta produktif.
Interaksi yang difasilitasi oleh lingkungan sosial dan fisik yang kondusif untuk orang sering bertemu dan berinteraksi satu sama lain membawa rasa komunitas, kekompakan, dan berbagi. Hal ini, pada gilirannya, membawa tekanan pada individu untuk berbagi dalam norma-norma kelompok dan dianggap sebagai bagian dari kelompok. Efek dari interaksi, bagaimanapun, dapat dilihat bervariasi sesuai dengan jenis interaksi dan reaksi emosional dari anggota untuk interaksi. Emosi negatif  menyebabkan  lingkungan terpecah-belah, dan emosi positif yang membuat lingkungan menjadi lebih integratif. Sedangkan struktur kognitif dalam masyarakat tidaklah mudah diubah, apalagi kalau sifatnya komunal dan masif. Nilai-nilai yang yang mendasari skema mental seseorang akan tetap melanggengkan in-group dan out-group. Pendisosiasian ini menyebabkan orang akan memandang yang lain berbeda. Diperkuat lagi oleh potensi setiap orang yang memiliki kebutuhan neurotik untuk berkuasa, maka kasus yang memiliki tipikal sama dengan artikel ini tentu sangat banyak kita jumpai dalam kehidupan. Ketika seseorang memandang orang lain dari kelompok yang berbeda, maka kecenderungan untuk mengganggap musuh dan harus dibinasakan akan muncul. Oleh karena itu, membangun sebuah komunitas baru (dari ada diskriminasi menjadi tidak) bukanlah hal yang mudah. Struktur kognitif yang terbentuk turun temurun dan menguntungkan salah satu pihak akan menyebabkan pihak itu sulit untuk menerima kesetaraan.
Berkaitan dengan hal tersebut, idealisme setengah utopis milik Fromm mengenai cinta produktif pasti akan sulit diterapkan di lingkungan yang masih mengandung unsur diskriminan dalam masyarakatnya. Cinta produktif hanya bisa terjadi dalam konteks dua orang atau lebih mengganggap diri saling membutuhkan dan setara adanya. Teori memang sekedar buah idealisme seseorang, artinya hanya ‘sesuatu yang mendekati’ kebenaran. Tidak semua teori dengan mudah masuk atau diterapkan dalam suatu budaya. Ada semacam resistensi nilai-nilai lokal yang menolak dengan keras maupun halus nilai-nilai budaya yang masuk, termasuk dalam hal ini nilai atau aspek yang ada dalam cinta produktif. Selama belum ada rasa saling menghargai (respek) dan rasa saling memahami, cinta produktif tidak akan terwujud dan hanya akan berhenti pada tataran ide.
Bagaimana dengan cinta produktif yang terbentur dengan budaya lokal? Saya kira sebelum ada kata ‘setara’ maka bukan lagi sulit, namun mustahil.

           
Sumber :

Hall, Calvin S. & Garder Lindzey. (1993). Teori-teori psikodinamik (klinis). Yogyakarta: Kanisius
Delamater, John. (2006). Handbook of social psychology. New York: Springer.
Ewen, Robert B. (2003). An introduction to the theories of personality 6th ed.. London: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Fromm, Erich. (1956). The art of loving. New York: Harper & Row.
Samad, Ulfat. (1976). The Great Religion of the World. Lahore : aaiil.org.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar