Sahabatku Budi,
Agaknya hidup ini di kala tertentu
memaksa kita untuk merasakan existential vacuum—kekosongan eksistensial. Kita
merasa tidak ada yang mengisi hidup kita sebagai human being. Kita merasa
frustrasi. Tidak lagi yang menjadi perhatian kita adalah untuk mengisi hidup
namun sekadar menjalankan hidup. Ya, sekadar. Semua itu terasa begitu tidak
mengenakkan hati. Hidup jadi tidak ada menarik-menariknya. Bagaimana denganmu,
sedang atau pernahkah kau mengalaminya? Kita hidup sekadar hidup, mencari-cari
tujuan dalam ketiadaan yang tak satu setan pun tahu, begitu kata seseorang
yang tentu kau kagumi; Soe Hok Gie.
Aku selalu ingat, suatu waktu yang
lalu kita bersama sahabat-sahabat kita bermain ombak kecil yang nakal di tepian
Lautan Hindia. Tentu kau akan selalu mengingatnya. Tahukah kau? Ternyata si
ombak kecil itu kini telah menjadi besar, tidak nakal lagi, malah mengerikan. Entah karena
sedang pasang atau entah memang es di kutub yang mencair sudah menampakkan
kengeriannya. Kemarin aku telah membuktikannya. Ya, Pantai Nampu, tepian Hindia
di bumi Wonogiri, dan barangkali juga pantai kecil yang kesepian di sebelahnya
yang berada di bumi Pacitan. Aku kembali ke sana untuk menemukan kehangatan
persahabatan yang dimimpikan setiap manusia modern ini. Persahabatan sederhana
yang hanya sekadar persahabatan, tanpa pretensi apapun di belakangnya. Tanpa
cericau manis mengenai kebaikan dan kebenaran. Tak lain yang ada dalam
persahabatan memang cuma sekadar kebaikan dan kebenaran—bukan cuma cericau
belaka. Romantis bukan?
Aku kembali ke sana
bersama Galih—barangkali yang lain tak kau kenal; Yutti, Rimpi, Andang, dan
Ditya. Betapa berbedanya eksotisme pantai saat ini dengan yang lalu, tentu saja
karena dunia dan isinya juga berubah tanpa kompromi terlebih dulu dengan kita.
Persamaannya adalah; di sana tersemai benih kebahagiaan dan persahabatan.
Sayang kami tidak bisa menyebrang lewat bawah menuju pantai yang sangat indah
namun kesepian itu—seperti kita dulu. Oh ya, sebelumnya kita membuat
kesepakatan saja bagaimana? Kita namai pantai itu pantai tanpa nama. Memang,
karena sampai sekarang pun kita tidak tahu-menahu mengenai nama pantai dengan
air terjun kecil yang segar itu.
Sangat berbeda dengan
pengalaman kita dulu, Bud. Setiap pengalaman memang memiliki kejadian dan
impresi yang khas. Kami berenam hampir terseret ombak karena mencoba menyebrang
lewat pinggiran pantai dengan batu karang bertekstur kasar, lancip lagi tajam
sebagai temboknya. Tubuhku sendiri menggigil tidak karuan, rasanya hampir mati
di tempat yang sangat indah itu. Ya, konyol sekali. Kalau Bung Karno ikut
bersama kami mungkin dalam kesannya akan terucap; vivere veri coloso. Akhirnya kami harus menaiki bukit demi mencapai
pantai tanpa nama itu. Dan justru bukit itu menjadi saksi dari momentum yang
bikin kita harus rendah hati. Lautan Hindia yang membentang luas di hadapan
kami membuat nyali menjadi ciut, meskipun warnanya begitu indah; biru
kehijauan.
Tentu kau tidak bisa
membayangkan lanskap indah di sana kalau pantai itu menjadi serupa pantai di
Jawa pesisir Utara yang keruh tidak karuan. Airnya yang coklat seperti
berlumpur dan menyerupai kopi-kopi instan yang dijual di warung-warung. Kau
tahu kan apa penyebabnya?
“Kita itu kecil sekali dibandingkan dengan dunia ini”, kata Ditya, “tapi mampu untuk merusak dunia”. Sambil
tercenung karena memiliki buah pikir serupa, aku menjawabnya pendek, “Iya”.
Kita memang sangat sangat kecil dan barangkali tidak berarti apapun bagi
kehidupan di Lautan Hindia itu. Kau tahu tidak? Pertanyaan dari Ditya, entah
tepat atau tidak aku sebut pertanyaan, terus menciptakan pertanyaan tak
berujung dalam diriku. Lebih baik dalam diri setiap orang dan tentu pula dalam
dirimu. Kita ini tidak lebih dari sehelai rambut atau mungkin setetes darah
dalam tubuh semesta ini. Atau dalam Sophie’s World-nya, Jostein Gaarder dengan
sederhana menyebut “Kita juga adalah
bintang kecil”.
Tapi bukan cuma masalah ukuran
kita ini kecil atau besar. Yang lebih menyakitkan adalah pernyataan yang
mengikutinya; “tapi mampu merusak dunia”. Begitu rombengkah wajah si manusia
itu? Begitu burukkah wajah kita? Kau tentu pernah mendengar tentang Hitler
kecil yang suka menggambar dan menjadi seorang yang bermimpi menyatukan dunia
dalam ideologinya, namun dengan jalan membantai bangsa Yahudi. Lalu di negeri
kita tentu kau sangat mengenal Soeharto, anak petani seperti kita, yang gencar
membangun negeri kita dari inflasi 650 % namun menjadi tiran terbesar sepanjang
sejarah bangsa kita. Betapa manusia itu baik dan kejam. Betapa dunia ini
indah namun mengerikan. Cobalah kau cari informasi lebih jauh, barangkali aku
salah. Tapi jangan sampai kehilangan daya kritismu. Sekarang terlalu banyak
sumber informasi yang malah mengantar kita kepada kemandulan kreasi dan daya
cipta.
Kita ini apalah lagi,
sudah berbadan kecil tidak lebih dari seratus tujuh puluh centimeter dan tidak
berlebihan pula kalau kita ini cuma orang kecil, tepatnya marhaenis. Kita tidak
lahir dari darah bangsawan, ningrat, ataupun aristokrat. Namun, itulah yang
menjadi kelebihan kita. Aku kira kau tahu mengapa aku menyebutnya kelebihan.
Kalau tidak bosan membaca suratku ini, aku akan menjelaskan alasan, yang
mungkin konyol, mengapa aku menyebutnya kelebihan di bawah ini.
Lihatlah berita di
koran-koran atau di media-media lain; ada kelaparan, buruh pada demo, bencana
alam, dan tentu bencana-bencana kemanusiaan lainnya. Bukankah yang kelaparan,
berdemo, dan kena bencana ini mayoritas cuma orang kecil seperti kita? Terlalu
cepatkah aku mengambil kesimpulan bahwa orang kecil yang selalu disorot? Tidak
berbeda pula dengan para koruptor yang saban hari tambah terkenal dengan
korup-nya. Bukankah mereka juga orang yang kecil? Maksudku tidak lain adalah
kecil hati dan moralnya. Tentu saja iya, sampai-sampai kapitulasi hidupnya
adalah terhadap uang. Betapa sendunya kehidupan manusia ini. Ya, apalagi yang
membuat orang terhormat kalau bukan uang dan kedudukan? Kalau ada yang salah,
tolong aku dibenarkan. Maklum kita cuma penonton. Apalah tugas penonton kalau tidak membuat persepsi.
Dan apalah tugas manusia kalau tidak menafsir tanda-tanda. Aku tidak tahu,
sebagai orang kecil, sikap bagaimana yang harus aku wujudkan. Berbanggakah atau
bersedihkah. Sejak jaman dulu memang kita dibiasakan untuk menunjukkan sikap
yang tidak melukai hati orang lain—grief
niet, begitu para pendahulu kita menyebutnya. Semoga sikap tersebut tidak
mengurangi kedekatan emosional dalam persahabatan kita.
Namun jauh dari semua itu, yang
aku maksud di sini dengan kelebihan adalah bahwa kita bersahabat. Kita juga
seperti manusia normal yang butuh berafiliasi. Aku sendiri merasa kasihan
terhadap banyak orang yang merasa tidak memiliki sahabat atau mencari sahabat
namun merasa tidak pernah menemukannya. Kalau kau tahu orang seperti itu,
beritahukanlah kepadanya bahwa aku mau menjadi sahabatnya. Tidak peduli dari
golongan apa, agama apa, atau ras apa. Karena persahabatan memang tidak diukur
dari golongan, agama, dan ras. Bukankah begitu?
Sebagai seorang pemimpi kebaikan
dan kebenaran, aku gerah sekali mendengar banyak orang menjadi bermusuhan
karena berbagai macam alasan konyol seperti tiga hal yang telah aku sebutkan
tadi. Pada intinya hanya karena memiliki perbedaan. Apakah mereka belum paham
bahwa manusia itu sama dalam suatu hal dan unik dalam hal lainnya? Kau tahu
berapa umur manusia pertama? Aku rasa hanya menjadi pembenaran bodoh yang
menyatakan bahwa tidak bersahabat karena tahu bahwa diantara manusia sangatlah
berbeda, termasuk dalam cara pandang itu tadi. Apakah kita sudah enggan menjadi
manusia dan menginginkan jiwa seekor kambing hidup dalam diri kita? Mana ada
cerita kambing bersahabat dengan manusia? Kalau ada, aku berani mengatakan
bahwa cerita itu sungguh konyol dan bodoh, tak realistis pula. Kambing tahunya
cuma makan rumput; dan mungkin disembelih.
Pernahkah kau mendengar bahwa “semakin bebas manusia maka akan semakin
merasa kesepian”? Aku rasa sudah ada pergeseran pada jaman kita akan apa
yang dimaksud bebas. Aku kira bebas tidak lalu berarti semau gue. Tidak lalu berarti murni otonom.
Aku kesulitan menceritakan padamu bagaimana batas yang aku maksud. Kalau aku
sendiri mampu mewakili generasi kita, barangkali batas dan kata memang menjadi
kebalauan tersendiri bagi generasi ini. Toh kata-kata juga cuma mereduksi
makna.
Aku takut manusia sudah terlalu
otonom dan kehilangan daya juang untuk bersahabat. Bersahabat juga butuh daya
juang, Bud. Aku tidak bisa membayangkan kalau manusia menjadi impoten hidupnya.
“The course of true love never did run
smooth”, kata Shakespeare. Bersahabat sama saja dengan bercinta. Karena
persahabatan sendiri merupakan ekspresi dari cinta; philia. Semoga masih ada
orang-orang yang mau berjuang demi persahabatan. Karena mabuk asmara pun akan
dirasakan di sini. Bahkan lebih dari sekadar kata mabuk; ekstasis. Kau tahu
serotonin juga akan tersekresi ketika kita sedang bersama sahabat? Kita akan
merasa tenang dan senang. Itulah inti ekstasis itu.
Kau tahu, entah dari
mana datangnya, aku adalah orang yang merindukan romantika kehidupan. Banyak
yang tidak mesra lagi dalam hidup ini. Aku tidak perlu membuktikannya kau akan
bisa menebaknya sendiri apa saja yang aku maksud tidak mesra lagi. Kalau aku
memceritakannya di sini akan sangat panjang dan membosankan. Barangkali kau pun
sekarang telah bosan membaca surat ini. Ya sudah, aku potong dulu saja
cericauku ini, aku tidak mau kau bosan dengan persahabatan kita ini.
Oh ya, aku lupa, maaf
harus aku tambahkan sedikit. Tentu saja suratku ini surat orang kecil, orang
yang tidak bisa berbuat apa-apa ketika dihadapkan dengan Lautan Hindia. Dan
tentu bukan surat orang pandai, kau tahu kan nilaiku di sekolah juga cuma
seberapa? Jaman kan menuntut yang menjadi indikator pandai adalah tidak lain
kalau bukan nilai itu sendiri. Tapi, sekali lagi aku katakan kalau aku, atau
tepatnya kita, adalah orang yang beruntung. Dan kalau tidak keberatan, aku akan
selamanya menyebut kita adalah orang yang beruntung karena hidup kita diisi
dengan persahabatan.
Aku harap kita sendiri
masih menjadi manusia bebas yang mampu terbang dengan sayap kita lalu hinggap
ke sana ke mari dengan pikiran dan ide-ide kita. Aku harap di masa depan kita
bekerja bukan sekadar untuk menyambung hidup saja, namun jauh lebih berharga
daripada itu; mengisi hidup.
Begitu pula dengan
persahabatan, bukan sekedar menyambung hidup, namun juga mengisi hidup. Bagaimana, indah bukan?
Terserah padamu, Bud.
Yogyakarta, Jumat Wage 29
Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar