Rabu, 25 September 2013

Surat untuk Budi

Sahabatku Budi,
Agaknya hidup ini di kala tertentu memaksa kita untuk merasakan existential vacuum—kekosongan eksistensial. Kita merasa tidak ada yang mengisi hidup kita sebagai human being. Kita merasa frustrasi. Tidak lagi yang menjadi perhatian kita adalah untuk mengisi hidup namun sekadar menjalankan hidup. Ya, sekadar. Semua itu terasa begitu tidak mengenakkan hati. Hidup jadi tidak ada menarik-menariknya. Bagaimana denganmu, sedang atau pernahkah kau mengalaminya? Kita hidup sekadar hidup, mencari-cari tujuan dalam ketiadaan yang tak satu setan pun tahu, begitu kata seseorang yang tentu kau kagumi; Soe Hok Gie.

Aku selalu ingat, suatu waktu yang lalu kita bersama sahabat-sahabat kita bermain ombak kecil yang nakal di tepian Lautan Hindia. Tentu kau akan selalu mengingatnya. Tahukah kau? Ternyata si ombak kecil itu kini telah menjadi besar, tidak nakal lagi, malah mengerikan. Entah karena sedang pasang atau entah memang es di kutub yang mencair sudah menampakkan kengeriannya. Kemarin aku telah membuktikannya. Ya, Pantai Nampu, tepian Hindia di bumi Wonogiri, dan barangkali juga pantai kecil yang kesepian di sebelahnya yang berada di bumi Pacitan. Aku kembali ke sana untuk menemukan kehangatan persahabatan yang dimimpikan setiap manusia modern ini. Persahabatan sederhana yang hanya sekadar persahabatan, tanpa pretensi apapun di belakangnya. Tanpa cericau manis mengenai kebaikan dan kebenaran. Tak lain yang ada dalam persahabatan memang cuma sekadar kebaikan dan kebenaran—bukan cuma cericau belaka. Romantis bukan?

Aku kembali ke sana bersama Galih—barangkali yang lain tak kau kenal; Yutti, Rimpi, Andang, dan Ditya. Betapa berbedanya eksotisme pantai saat ini dengan yang lalu, tentu saja karena dunia dan isinya juga berubah tanpa kompromi terlebih dulu dengan kita. Persamaannya adalah; di sana tersemai benih kebahagiaan dan persahabatan. Sayang kami tidak bisa menyebrang lewat bawah menuju pantai yang sangat indah namun kesepian itu—seperti kita dulu. Oh ya, sebelumnya kita membuat kesepakatan saja bagaimana? Kita namai pantai itu pantai tanpa nama. Memang, karena sampai sekarang pun kita tidak tahu-menahu mengenai nama pantai dengan air terjun kecil yang segar itu.

Sangat berbeda dengan pengalaman kita dulu, Bud. Setiap pengalaman memang memiliki kejadian dan impresi yang khas. Kami berenam hampir terseret ombak karena mencoba menyebrang lewat pinggiran pantai dengan batu karang bertekstur kasar, lancip lagi tajam sebagai temboknya. Tubuhku sendiri menggigil tidak karuan, rasanya hampir mati di tempat yang sangat indah itu. Ya, konyol sekali. Kalau Bung Karno ikut bersama kami mungkin dalam kesannya akan terucap; vivere veri coloso. Akhirnya kami harus menaiki bukit demi mencapai pantai tanpa nama itu. Dan justru bukit itu menjadi saksi dari momentum yang bikin kita harus rendah hati. Lautan Hindia yang membentang luas di hadapan kami membuat nyali menjadi ciut, meskipun warnanya begitu indah; biru kehijauan.

Tentu kau tidak bisa membayangkan lanskap indah di sana kalau pantai itu menjadi serupa pantai di Jawa pesisir Utara yang keruh tidak karuan. Airnya yang coklat seperti berlumpur dan menyerupai kopi-kopi instan yang dijual di warung-warung. Kau tahu kan apa penyebabnya?

Kita itu kecil sekali dibandingkan dengan dunia ini”, kata Ditya, “tapi mampu untuk merusak dunia”. Sambil tercenung karena memiliki buah pikir serupa, aku menjawabnya pendek, “Iya”. Kita memang sangat sangat kecil dan barangkali tidak berarti apapun bagi kehidupan di Lautan Hindia itu. Kau tahu tidak? Pertanyaan dari Ditya, entah tepat atau tidak aku sebut pertanyaan, terus menciptakan pertanyaan tak berujung dalam diriku. Lebih baik dalam diri setiap orang dan tentu pula dalam dirimu. Kita ini tidak lebih dari sehelai rambut atau mungkin setetes darah dalam tubuh semesta ini. Atau dalam Sophie’s World-nya, Jostein Gaarder dengan sederhana menyebut “Kita juga adalah bintang kecil”.

Tapi bukan cuma masalah ukuran kita ini kecil atau besar. Yang lebih menyakitkan adalah pernyataan yang mengikutinya; “tapi mampu merusak dunia”. Begitu rombengkah wajah si manusia itu? Begitu burukkah wajah kita? Kau tentu pernah mendengar tentang Hitler kecil yang suka menggambar dan menjadi seorang yang bermimpi menyatukan dunia dalam ideologinya, namun dengan jalan membantai bangsa Yahudi. Lalu di negeri kita tentu kau sangat mengenal Soeharto, anak petani seperti kita, yang gencar membangun negeri kita dari inflasi 650 % namun menjadi tiran terbesar sepanjang sejarah bangsa kita. Betapa manusia itu baik dan kejam. Betapa dunia ini indah namun mengerikan. Cobalah kau cari informasi lebih jauh, barangkali aku salah. Tapi jangan sampai kehilangan daya kritismu. Sekarang terlalu banyak sumber informasi yang malah mengantar kita kepada kemandulan kreasi dan daya cipta.

Kita ini apalah lagi, sudah berbadan kecil tidak lebih dari seratus tujuh puluh centimeter dan tidak berlebihan pula kalau kita ini cuma orang kecil, tepatnya marhaenis. Kita tidak lahir dari darah bangsawan, ningrat, ataupun aristokrat. Namun, itulah yang menjadi kelebihan kita. Aku kira kau tahu mengapa aku menyebutnya kelebihan. Kalau tidak bosan membaca suratku ini, aku akan menjelaskan alasan, yang mungkin konyol, mengapa aku menyebutnya kelebihan di bawah ini.

Lihatlah berita di koran-koran atau di media-media lain; ada kelaparan, buruh pada demo, bencana alam, dan tentu bencana-bencana kemanusiaan lainnya. Bukankah yang kelaparan, berdemo, dan kena bencana ini mayoritas cuma orang kecil seperti kita? Terlalu cepatkah aku mengambil kesimpulan bahwa orang kecil yang selalu disorot? Tidak berbeda pula dengan para koruptor yang saban hari tambah terkenal dengan korup-nya. Bukankah mereka juga orang yang kecil? Maksudku tidak lain adalah kecil hati dan moralnya. Tentu saja iya, sampai-sampai kapitulasi hidupnya adalah terhadap uang. Betapa sendunya kehidupan manusia ini. Ya, apalagi yang membuat orang terhormat kalau bukan uang dan kedudukan? Kalau ada yang salah, tolong aku dibenarkan. Maklum kita cuma penonton. Apalah tugas penonton kalau tidak membuat persepsi. Dan apalah tugas manusia kalau tidak menafsir tanda-tanda. Aku tidak tahu, sebagai orang kecil, sikap bagaimana yang harus aku wujudkan. Berbanggakah atau bersedihkah. Sejak jaman dulu memang kita dibiasakan untuk menunjukkan sikap yang tidak melukai hati orang lain—grief niet, begitu para pendahulu kita menyebutnya. Semoga sikap tersebut tidak mengurangi kedekatan emosional dalam persahabatan kita.

Namun jauh dari semua itu, yang aku maksud di sini dengan kelebihan adalah bahwa kita bersahabat. Kita juga seperti manusia normal yang butuh berafiliasi. Aku sendiri merasa kasihan terhadap banyak orang yang merasa tidak memiliki sahabat atau mencari sahabat namun merasa tidak pernah menemukannya. Kalau kau tahu orang seperti itu, beritahukanlah kepadanya bahwa aku mau menjadi sahabatnya. Tidak peduli dari golongan apa, agama apa, atau ras apa. Karena persahabatan memang tidak diukur dari golongan, agama, dan ras. Bukankah begitu?

Sebagai seorang pemimpi kebaikan dan kebenaran, aku gerah sekali mendengar banyak orang menjadi bermusuhan karena berbagai macam alasan konyol seperti tiga hal yang telah aku sebutkan tadi. Pada intinya hanya karena memiliki perbedaan. Apakah mereka belum paham bahwa manusia itu sama dalam suatu hal dan unik dalam hal lainnya? Kau tahu berapa umur manusia pertama? Aku rasa hanya menjadi pembenaran bodoh yang menyatakan bahwa tidak bersahabat karena tahu bahwa diantara manusia sangatlah berbeda, termasuk dalam cara pandang itu tadi. Apakah kita sudah enggan menjadi manusia dan menginginkan jiwa seekor kambing hidup dalam diri kita? Mana ada cerita kambing bersahabat dengan manusia? Kalau ada, aku berani mengatakan bahwa cerita itu sungguh konyol dan bodoh, tak realistis pula. Kambing tahunya cuma makan rumput; dan mungkin disembelih.

Pernahkah kau mendengar bahwa “semakin bebas manusia maka akan semakin merasa kesepian”? Aku rasa sudah ada pergeseran pada jaman kita akan apa yang dimaksud bebas. Aku kira bebas tidak lalu berarti semau gue. Tidak lalu berarti murni otonom. Aku kesulitan menceritakan padamu bagaimana batas yang aku maksud. Kalau aku sendiri mampu mewakili generasi kita, barangkali batas dan kata memang menjadi kebalauan tersendiri bagi generasi ini. Toh kata-kata juga cuma mereduksi makna.

Aku takut manusia sudah terlalu otonom dan kehilangan daya juang untuk bersahabat. Bersahabat juga butuh daya juang, Bud. Aku tidak bisa membayangkan kalau manusia menjadi impoten hidupnya. “The course of true love never did run smooth”, kata Shakespeare. Bersahabat sama saja dengan bercinta. Karena persahabatan sendiri merupakan ekspresi dari cinta; philia. Semoga masih ada orang-orang yang mau berjuang demi persahabatan. Karena mabuk asmara pun akan dirasakan di sini. Bahkan lebih dari sekadar kata mabuk; ekstasis. Kau tahu serotonin juga akan tersekresi ketika kita sedang bersama sahabat? Kita akan merasa tenang dan senang. Itulah inti ekstasis itu.

Kau tahu, entah dari mana datangnya, aku adalah orang yang merindukan romantika kehidupan. Banyak yang tidak mesra lagi dalam hidup ini. Aku tidak perlu membuktikannya kau akan bisa menebaknya sendiri apa saja yang aku maksud tidak mesra lagi. Kalau aku memceritakannya di sini akan sangat panjang dan membosankan. Barangkali kau pun sekarang telah bosan membaca surat ini. Ya sudah, aku potong dulu saja cericauku ini, aku tidak mau kau bosan dengan persahabatan kita ini.
Oh ya, aku lupa, maaf harus aku tambahkan sedikit. Tentu saja suratku ini surat orang kecil, orang yang tidak bisa berbuat apa-apa ketika dihadapkan dengan Lautan Hindia. Dan tentu bukan surat orang pandai, kau tahu kan nilaiku di sekolah juga cuma seberapa? Jaman kan menuntut yang menjadi indikator pandai adalah tidak lain kalau bukan nilai itu sendiri. Tapi, sekali lagi aku katakan kalau aku, atau tepatnya kita, adalah orang yang beruntung. Dan kalau tidak keberatan, aku akan selamanya menyebut kita adalah orang yang beruntung karena hidup kita diisi dengan persahabatan.

Aku harap kita sendiri masih menjadi manusia bebas yang mampu terbang dengan sayap kita lalu hinggap ke sana ke mari dengan pikiran dan ide-ide kita. Aku harap di masa depan kita bekerja bukan sekadar untuk menyambung hidup saja, namun jauh lebih berharga daripada itu; mengisi hidup.

Begitu pula dengan persahabatan, bukan sekedar menyambung hidup, namun juga mengisi hidup. Bagaimana, indah bukan?

Terserah padamu, Bud.

Yogyakarta, Jumat Wage 29 Juni 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar